Kehidupan ekonomi terdiri atas banyak aktivitas kompleks, di mana orang-orang saling berdagang, melakukan investasi, dan masih banyak lagi. Dalam menjalankan tugasnya, para ekonom berusaha menjelaskan mengenai aktivitas-aktivitas kompleks tersebut dengan menggunakan ilmu ekonomi.
Para ekonom menggunakan pendekatan ilmiah (scientific approach) untuk memahami kehidupan ekonomi. Hal tersebut akan melibatkan penarikan kesimpulan melalui pengumpulan data statistik dan penelusuran catatan historis. Sebagai contoh, bagaimana defisit anggaran yang menyebabkan terjadinya inflasi, dapat diteliti tidak hanya dengan mengamati data-data inflasi, tetapi juga catatan sejarah mengenai inflasi yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Dalam mempelajari ilmu ekonomi, seringkali para ekonom bergantung pada analisis dan teori. Pendekatan teoritis memungkinkan para ekonom membuat kesimpulan umum seperti pendapat mengenai pentingnya perdagangan internasional dan manfaat adanya spesialisasi, serta penentangan terhadap tarif dan kuota.
Selain itu, para ekonom juga telah mengembangkan teknik tertentu yang dikenal sebagai ekonometrika, yaitu penggunaan alat analisis matematika dan statistika dalam mengkaji masalah-masalah ekonomi. Melalui ekonometrika, para ekonom dapat menjelaskan fenomena ekonomi dan menggambarkannya dalam hubungan antarvariabel secara lebih sederhana.
Para ekonom, khususnya para ekonom pemula, tentunya harus berhati-hati dalam menganalisis dan menentukan kesimpulan di dalam penelitiannya. Karena hubungan antarvariabel dalam ilmu ekonomi itu seringkali kompleks, maka tak jarang para ekonom salah dalam memahami alasan pasti di balik suatu peristiwa ekonomi, sehingga kemudian salah dalam menentukan kebijakan.
Dikutip dari buku Economics karya Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, terdapat 4 kesalahan umum yang dilakukan ekonom dalam menganalisis dan mengembangkan pemikiran di bidang ekonomi, antara lain sebagai berikut.
Kegagalan untuk Menjaga “Hal-Hal Lainnya Konstan” (Failure to Hold Other Things Constant)
Kesalahan pertama dalam mengembangkan pemikiran ekonomi adalah kegagalan untuk menjaga hal-hal lainnya konstan. Maksudnya adalah penting untuk selalu memberlakukan asumsi ceteris paribus ketika mengkaji teori ekonomi.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa fenomena ekonomi itu merupakan sesuatu yang kompleks. Model ekonomi yang dibuat oleh para ekonom sebenarnya merupakan penyederhanaan realitas ekonomi, sehingga memiliki keterbatasan. Dalam ilmu ekonomi, asumsi ceteris paribus memiliki kedudukan sebagai syarat berlakunya sebuah teori. Jadi, saat kita menarik kesimpulan mengenai hubungan dua variabel, harus disadari bahwa kesimpulan tersebut didasari atas asumsi variabel-variabel lain dianggap tidak berubah.
Sebagai contoh, kita menyimpulkan bahwa permintaan terhadap jasa transportasi bus antar kota turun akibat kenaikan harga tiket bus. Kesimpulan tersebut harus didasarkan pada asumsi bahwa harga tiket jasa transportasi lainnya (seperti kereta api, pesawat, dan travel) tidak berubah. Jika asumsi tersebut tidak terpenuhi (misal harga tiket kereta naik), maka kesimpulannya belum tentu akan sama.
Tentu saja ada banyak hal yang mempengaruhi permintaan terhadap jasa transportasi bus. Faktor lain tersebut meliputi pendapatan konsumen, selera masyarakat, jumlah penduduk, dan harga jasa transportasi lain. Ketika variabel-variabel ini berubah, konsumen mungkin saja akan lebih sering menggunakan atau justru mengurangi penggunaan bus.
Penggunaan perangkat ceteris paribus adalah salah satu bagian proses abstraksi. Dengan menganggap hal lainnya konstan, kita telah mengisolasi dampak suatu variabel tertentu. Artinya, variabel yang sedang kita uji bisa diubah-ubah, sedangkan semua variabel lainnya tidak berubah. Dengan demikian, kita dapat menyederhanakan realita untuk berfokus pada hubungan yang menjadi fokus kita.
Kekeliruan Post Hoc (Post Hoc Fallacy)
Kekeliruan post hoc sering terjadi dalam penelitian hubungan sebab-akibat (casuality). Post hoc ergo propter hoc berasal dari bahasa Latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Jadi, arti singkatnya adalah “kejadian ini terjadi sesudah kejadian itu”.
Misalkan peristiwa B terjadi sesudah peristiwa A. Kekeliruan post hoc muncul ketika kita menyimpulkan bahwa peristiwa A dianggap sebagai penyebab terjadinya peristiwa B. Alasannya apa? Ya, karena urutan waktunya seperti itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan kronologis, maka kita menyatakan bahwa peristiwa pertama adalah sebab dari peristiwa kedua. Hal seperti ini sering disebut juga dengan post hoc.
Kekeliruan post hoc adalah kesalahan/kesesatan dalam hal penarikan kesimpulan atas suatu kejadian sebab-akibat. Orang cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama menjadi penyebab terjadinya peristiwa kedua, atau peristiwa kedua merupakan akibat dari peristiwa pertama. Padahal urutan waktu tidak serta-merta menunjukkan hubungan sebab akibat. Fakta bahwa peristiwa pertama terjadi sebelum peristiwa kedua tidak berarti membuktikan bahwa peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua.
Misalkan, ketika seorang ayah membelikan laptop baru untuk anaknya, dan kemudian nilai raport anaknya turun. Lalu sang ayah menganggap bahwa laptop itu adalah penyebabnya. Ia menyimpulkan bahwa saat anaknya dibelikan laptop baru, anaknya jadi lebih sering main games. Nah, dalam situasi ini sang ayah sedang melakukan kekeliruan post hoc.
Memang ada kemungkinan laptop itu telah mengubah perilaku si anak, yang terlalu sering main laptop hingga lupa waktu. Tapi ada juga kemungkinan lain bahwa si anak memang sudah malas belajar, bahkan sebelum dibelikan laptop. Atau mungkin saja anak tersebut sebenarnya rajin, namun ia bergaul dengan anak-anak yang malas belajar, sehingga terpengaruh.
Dalam dunia akademik, kekeliruan post hoc sering memberi dampak pada kesalahan dalam penarikan kesimpulan. Oleh karenanya, setiap penelitian mengenai hubungan sebab-akibat hendaknya tidak hanya didukung data-data empiris, tapi juga didasarkan atas teori-teori yang relevan.
Kekeliruan Komposisi (Fallacy of Composition)
Kadang kita beranggapan bahwa sesuatu yang baik bagi sebagian, akan baik pula bagi keseluruhan. Dalam ilmu ekonomi, kita sering menemukan bahwa “keseluruhan” itu berbeda dengan “beberapa bagian”. Saat kita mengasumsikan bahwa segala sesuatu yang baik untuk sebagian akan baik pula bagi keseluruhan, maka saat itu pula kita telah membuat kekeliruan komposisi.
Berikut adalah contoh kesalahan komposisi. Misalkan kita menonton pertandingan sepak bola di lapangan. Ketika pertandingan mulai tegang dan hendak tercipta gol, penonton mulai berdiri dan melaju ke pinggir lapangan agar bisa melihat pertandingan dengan lebih jelas. Bagi segelintir orang, berdiri sambil berjalan ke pinggir lapangan akan memberikan ruang pandang yang lebih bagus. Tapi bila setiap penonton melakukan hal yang sama, maka ruang pandangan akan sama jeleknya.
Contoh lainnya yaitu ketika seorang petani panen besar dan bisa mendapatkan keuntungan yang besar pula. Tapi jika semua petani memperoleh panen besar, apakah semua akan memperoleh keuntungan yang besar pula. Belum tentu. Ada kemungkinan ketika terjadi panen raya, harga komoditas pertanian akan turun karena over supply, sehingga menyebabkan pendapatan total untuk tiap-tiap petani malah turun.
Kekeliruan komposisi ini sering dikaitkan dengan paradoks antara mikroekonomi dan makroekonomi (micro-macro paradox). Misalnya tindakan seseorang yang memilih untuk berhemat, mungkin bagus jika dilihat dari sudut pandang mikroekonomi. Namun, jika semua orang berhemat dan mengurangi pembelanjaannya, tentu hal ini akan berpengaruh terhadap lesunya dunia bisnis. Permintaan akan barang dan jasa secara umum menjadi berkurang. Jadi, seringkali sesuatu yang baik secara mikro belum tentu baik pula secara makro.
Subjektivitas
Salah satu hambatan terbesar untuk menguasai ilmu ekonomi yaitu timbul dari subjektivitas yang kita bawa dalam mempelajari dunia di sekitar kita. Subjektivitas sangat dekat dengan peneliti, karena subjektivitas didasarkan pada hal-hal seperti nilai, norma, mitos dan sebagainya yang mempengaruhi situasi lingkungan sosial sekitar seseorang.
Subjektivitas dalam ilmu ekonomi menyebabkan dapat terjadinya perbedaan dalam bagaimana peneliti melihat fenomena ekonomi. Kita kadang-kadang percaya bahwa tujuan penyelidikan kita adalah untuk menguak suatu realitas objektif untuk mempelajari fakta dan hukum alam atau hukum ilmu ekonomi.
Teori merupakan alat yang sangat pokok dalam menyusun dan mengatur fakta. Dalam ilmu sosial fakta-fakta ilmiah dari setiap saat selalu berubah, sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, bila kita mempunyai seperangkat prinsip-prinsip ekonomi yang baru, kita akan memakai kenyataan dengan cara yang baru dan berlainan. Pengertian pokok ini akan membuat kita lebih tepat memahami tentang mengapa orang-orang yang hidup dalam satu planet ternyata bisa berbeda pemandangan secara mendasar. Contoh: perbedaan paham antara Keynes dengan Ekonom Klasik mengenai teori ilmu ekonomi makro.