Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

Di hampir semua negara di dunia, stabilitas sistem keuangan menjadi aspek yang penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian berkelanjutan. Pentingnya upaya menjaga stabilitas sistem keuangan ini terkait dengan perkembangan sistem keuangan yang semakin kompleks, seiring dengan meningkatnya aktivitas industri dan sistem keuangan yang terintegrasi antarnegara.

Pengalaman krisis keuangan pada tahun 1998, 2008, dan 2012 telah membuktikan bahwa stabilitas sistem keuangan sangat dibutuhkan untuk memitigasi krisis, menjaga stabilitas makroekonomi, serta mencegah perluasan risiko sistemik (risiko yang dapat berdampak pada perekonomian secara keseluruhan). Untuk itulah diperlukan upaya preventif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, yang salah satunya dilakukan oleh Bank Indonesia melalui kebijakan makroprudensial.

Mengenal Kebijakan Makroprudensial

Penggunaan istilah “macroprudential” sebenarnya masih relatif baru. Istilah ini pertama kali dikenalkan pada pertemuan The Cooke Committee atau sekarang dikenal sebagai Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) pada tahun 1979. Istilah tersebut semakin populer pasca terjadinya krisis Asia pada tahun 1998 dan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008.

Pada awalnya, kebijakan moneter hanya difokuskan pada upaya menjaga stabilitas harga dalam rangka menciptakan stabilitas sektor keuangan. Oleh karena itu kebijakan moneter hanya memiliki satu tujuan (mengendalikan inflasi) dengan menggunakan kebijakan inflation targeting, dengan tingkat suku bunga sebagai sasaran. Di sisi lain, kebijakan makroekonomi lainnya seperti kebijakan fiskal dan eksternal memiliki peran yang terbatas dalam pengelolaan ekonomi makro.

Momentum krisis keuangan global pada tahun 2008 kemudian mengubah pendapat para ahli ekonomi yang kemudian meyakini bahwa kebijakan stabilitas harga tidak serta merta menjamin stabilitas makroekonomi dan krisis keuangan. Krisis tersebut menular ke berbagai negara di dunia dan berdampak serius terhadap sektor riil. Krisis keuangan yang didorong oleh penggelembungan kredit, berubah menjadi krisis global dan telah menyebabkan aktivitas perekonomian menurun drastis.

Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita ambil dari krisis keuangan. Pertama, sistem keuangan telah berkembang secara signifikan dan pesat, sehingga memiliki dampak yang sangat besar terhadap perkembangan ekonomi riil. Kedua, biaya penyelamatan krisis sangat besar. Ketiga, stabilitas harga dan output ternyata tidak menjamin kestabilan finansial. Oleh karena itu, perlu disusun suatu kerangka guna menanggulangi ketidakstabilan sistem keuangan yaitu melalui kebijakan makroprudensial.

Apa itu Kebijakan Makroprudensial?

Sampai saat ini belum ada definisi baku mengenai apa itu kebijakan makroprudensial. Namun demikian, beberapa institusi menjabarkan makroprudensial sebagai perangkat untuk membatasi risiko sistemik. 

Dikutip dari buku Pengantar Kebanksentralan: Teori dan Praktik di Indonesia karya Iskandar Simorangkir, terdapat beberapa definisi makroprudensial yang dikemukakan oleh institusi-institusi besar dunia, antara lain:

  • Versi IMF: Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang menggunakan perangkat kehati-hatian (prudential) untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik. (IMF, Macroprudential Policy: An Organizing Framework, 2011).

  • Versi Bank for International Settlements: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik. (BIS working papers, Macroprudential Policy – a literature review, February 2011).

  • Versi Bank of England: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit, dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian. (Bank of England (2009), “The Role of Macroprudential Policy”, Bank of England Discussion paper).

  • Versi Working Group G-30: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk memitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antarinstitusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (procyclical) sehingga memperbesar risiko sistemik. (WG G30, Enhancing Financial Stability and Resilience: Macroprudential Policy, Tools, and Systems for the Future, 2010).

  • Amandemen UU BI: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk mencegah serta mengurangi risiko sistemik yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan dan/atau stabilitas moneter.

Perbedaan Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial

Kebijakan dan peraturan yang terdapat dalam sistem keuangan mencakup mikroprudensial dan makroprudensial. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Kebijakan mikroprudensial lebih menekankan pemantauan dan kebijakan dalam menjaga stabilitas individual institusi keuangan, untuk mempertahankan kesehatan dan ketahanan individual lembaga keuangan.

Indikator mikroprudensial yang diamati dalam kebijakan mikroprudensial adalah tingkat kesehatan institusi keuangan (CAMELS Ratings) yang untuk bank sekarang telah diganti dengan Risk-Based Banking Rating atau RBBR. Di dalam rating tingkat kesehatan tersebut telah diperhitungkan indikator-indikator seperti indikator kinerja (ROA, ROE, NPL, LDR, dsb), indikator kondisi keuangan (CAR, leverage), indikator efisiensi (BOPO), indikator profil risiko, indikator tata kelola (GCG), dan indikator kepatuhan.

Sementara itu kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang berorientasi pada sistem, bertujuan melihat sistem keuangan secara keseluruhan melalui pendekatan yang bersifat top-down. Dengan pendekatan top-down, kebijakan yang akan diambil didasarkan pada hasil analisis secara komprehensif terhadap kondisi makroekonomi dan dampaknya pada seluruh risiko dalam sistem keuangan, termasuk korelasi antara risiko sistemik, dinamika pasar, dan pilihan kebijakan yang akan dilakukan.

Indikator pengawasan kebijakan makroprudensial antara lain: bid ask spread dalam pasar keuangan, harga properti, konsentrasi kredit properti, loan to value (LTV), kredit rumah tangga terhadap PDB, posisi devisa neto bank, dan sebagainya. 

Karekteristik kebijakan makroprudensial yaitu menggunakan pendekatan yang bersifat agregatif dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan. Kebijakan ini fokus pada interaksi antara lembaga keuangan, pasar, infrastruktur, dan ekonomi yang lebih luas, termasuk pengukuran potensi risiko ke depan, dan berupaya mencegah instabilitas untuk menghindari biaya perekonomian yang timbul dari kegagalan sektor keuangan (biaya penanggulangan krisis).

Kebijakan makroprudensial akan melengkapi kebijakan mikroprudensial yang difokuskan pada pendekatan bottom-up melalui analisis yang lebih mendalam atas risiko institusi keuangan secara individual. Jadi, meskipun keduanya memiliki pendekatan yang berbeda, baik kebijakan makroprudensial maupun mikroprudensial sama-sama bertujuan mencegah terjadinya instabilitas sistem keuangan.

Kerangka Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

Di Indonesia, kebijakan makroprudensial telah dilakukan sejak era awal tahun 2000, dalam kaitannya dengan peran Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Sejak tahun 2003 Bank Indonesia mulai berperan aktif mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan di Indonesia, setelah berkaca pada pengalaman menghadapi krisis keuangan tahun 1997/1998 yang telah menelan biaya recovery hingga 51% dari produk domestik bruto (PDB).

Peran Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi makroprudensial secara eksplisit tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanggal 22 November 2011. Berdasarkan UU tersebut, fungsi pengawasan bank (microprudential) yang sebelumnya dijalankan oleh Bank Indonesia, dialihkan ke OJK.

OJK selaku lembaga yang diamanatkan melakukan fungsi mikroprudensial memiliki tugas mengatur dan mengawasi lembaga keuangan perbankan, yang meliputi kelembagaan, kesehatan, kehati-hatian, dan pemeriksaan bank. Sementara itu Bank Indonesia bertindak sebagai otoritas moneter, namun tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait aspek makroprudensial. Dalam kapasitasnya sebagai otoritas makroprudensial, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk dalam kategori systematically important bank dan/atau bank lainnya sesuai kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial.

Tugas pencegahan dan penanganan krisis sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Bank Indonesia dan OJK. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), Bank Indonesia diwajibkan berkoordinasi dengan beberapa instansi yang  terkait dengan sistem keuangan untuk berkolaborasi penuh dalam kegiatan makroprudensial. Pihak-pihak ini tergabung dalam Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Untuk menjalankan kerangka kebijakan makroprudensial, ada 6 (enam) tahap yang harus dilakukan. Kerangka kebijakan tersebut disusun untuk mengidentifkasi risiko di dalam sistem keuangan yang berpotensi memiliki dampak sistemik, mengetahui bagaimana risiko tersebut menyebar dan melalui channel apa penyebarannya, serta kapan saat yang tepat bagi otoritas untuk bereaksi dengan mengeluarkan instrumen kebijakan yang mampu mencegah penyebaran dampak risiko tersebut.

Pelaksanaan keenam tahapan tersebut antara lain:

  1. Monitoring terhadap indikator, kejadian, dan/atau perilaku yang dapat merepresentasikan potensi risiko sinyal (sinyal imbalance dan vulnerabilities) dalam sistem keuangan.

  2. Identifikasi jenis-jenis risiko yang melekat pada sistem keuangan, khususnya yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik.

  3. Penilaian risiko untuk mengetahui bagaimana risiko tersebut menyebar, termasuk channel penyebarannya, serta mengukur sejauh mana dampak yang ditimbulkan. 

  4. Pemberian sinyal risiko, baik kepada internal, termasuk otoritas sistem keuangan lainnya, maupun eksternal (seperti publik, institusi keuangan, dan pelaku pasar).

  5. Menetapkan desain dan implementasi kebijakan.

  6. Melakukan evaluasi efektivitas kebijakan.

 

Tahap pertama hingga tahap keempat merupakan elemen pertama kebijakan makroprudensial, yaitu prosedur macroprudential surveillance. Apabila pada tahap keempat pemberian sinyal risiko menunjukkan angka di bawah dan mendekati threshold, maka guna mencegah meluasnya dampak sistemik pada sistem keuangan, tahapan dilanjutkan ke elemen kedua, yaitu tahap kelima dan keenam. 

Instrumen Kebijakan Makroprudensial

Secara umum, instrumen kebijakan makroprudensial yang diterapkan di beberapa negara berbeda satu sama lain, tergantung dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan kondisi stabilitas sistem keuangan negara tersebut. Di Indonesia, Bank Indonesia setidaknya telah mengeluarkan 4 (empat) ketentuan/pedoman yang merupakan instrumen kebijakan makroprudensial, yakni loan to value ratio (LTV) untuk kredit perumahan dan down payment untuk kredit kendaraan bermotor, perhitungan giro wajib minimum rupiah berdasarkan loan to deposit ratio (GWM LDR), posisi devisa neto (PDN), dan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK).

Ke depannya, Bank Indonesia akan mengimplementasikan 2 (dua) instrumen kebijakan makroprudensial baru, yakni countercyclical capital buffer (CCB) dan capital surcharge. Namun saat ini Bank Indonesia sedang dalam tahapan melakukan riset guna menentukan desain dan formula kedua kebijakan tersebut.

Loan to Value untuk Kredit Perumahan dan Down Payment untuk Kredit Kendaraan Bermotor

Dalam rangka meningkatkan kehati-hatian bank dan memperkuat ketahanan sektor keuangan, Bank Indonesia mengatur besaran loan to value (LTV) untuk pemberian kredit pemilikan rumah (KPR), dan down payment (DP) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB). Ketentuan ini tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.

Rasio LTV, yakni angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit, ditetapkan minimal 70%. Ruang lingkup KPR yang dimaksud meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe bangunan lebih dari 70 m2. Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.

Sementara itu, untuk DP bagi KKB ditetapkan sebagai berikut:

  • Roda dua minimal DP sebesar 25%.

  • Roda empat minimal DP sebesar 30%.

  • Roda empat atau lebih untuk keperluan produktif minimal DP 20%. Penetapan DP lebih rendah untuk kendaraan bermotor yang bersifat produktif bertujuan untuk mewujudkan keberpihakan kepada pihak-pihak yang memanfaatkan KKB yang secara resmi digunakan untuk kegiatan produktif, namun tetap mempertimbangkan aspek prudential.

Tujuan dari penetapan LTV dan DP ini adalah dalam rangka meredam risiko sistemik yang mungkin timbul akibat pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi, serta tingginya tingkat kegagalan nasabah KKB untuk memenuhi kewajibannya. Namun demikian, besaran LTV untuk KPR dan DP untuk KKB ini akan disesuaikan dari waktu ke waktu dengan memperhatikan kondisi perekonomian terkini.

Giro Wajib Minimum Berdasarkan Loan to Deposit Ratio (GWM LDR)

Pada tahun 2013, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai GWM Bank Umum pada Bank Indonesia dalam rupiah dan valuta asing. Berdasarkan peraturan tersebut, bank wajib memelihara tambahan GWM rupiah yang nilainya ditentukan berdasarkan angka LDR bank. 

Apabila angka LDR bank berada dalam kisaran LDR target, yakni 78% – 100%, maka besarnya GWM LDR bank adalah 0%. Sementara apabila LDR bank berada di luar GWM target, maka besarnya GWM LDR bank adalah selisih antara LDR bank batas bawah/atas LDR target dikalikan dengan parameter disinsentif bawah (0,1%)/parameter disinsentif atas (0,2%). Kecuali, bagi bank dengan angka LDR melampaui batas atas LDR target, namun dengan capital adequacy ratio (CAR) di atas 14%, maka besarnya GWM LDR adalah 0%.

Pengaturan GWM LDR bertujuan untuk meningkatkan ketahanan sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko, khususnya terkait dengan ekses likuiditas perbankan yang cukup tinggi, yang dapat berdampak pada peningkatan ekspektasi inflasi. Dengan demikian, GWM LDR merupakan instrumen credit-related dan liquidity-related yang mendukung stabilisasi sistem keuangan sekaligus stabilitas moneter melalui penguatan peran intermediasi bank.

Posisi Devisa Neto

Posisi Devisa Neto (PDN) memiliki peranan penting bagi bank devisa dalam mengelola valuta asing akibat adanya fluktuasi kurs yang sulit diprediksi. Besarnya PDN yang dimiliki oleh bank devisa tidak boleh melebihi batas maksimum peraturan Bank Indonesia.

PDN didapat dari selisih bersih antara aktiva dan passiva valas setelah memperhitungkan rekening-rekening administrasinya terhadap modal bank. PDN merupakan penjumlahan nilai absolut dari selisih bersih antara aset dan kewajiban dalam neraca untuk setiap mata uang asing yang dinyatakan dalam rupiah ditambah dengan selisih bersih dari tagihan dan kewajiban komitmen kontinjensi, yang dicatat dalam rekening administratif, untuk setiap mata uang asing.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No 12/10/PBI/2010, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai PDN bank umum. Berdasarkan peraturan tersebut, bank wajib mengelola dan memelihara PDN pada akhir hari kerja secara keseluruhan paling tinggi 20% dari modal. Selain itu, bank wajib mengelola dan memelihara PDN paling tinggi 20% dari modal setiap 30 (tiga puluh) menit sejak sistem tresuri bank dibuka sampai dengan sistem tresuri bank ditutup.

Perhitungan PDN setiap 30 menit dihitung menggunakan Kurs Penutupan pada hari kerja sebelumnya. Adapun yang diklasifikasikan sebagai PDN adalah selisih bersih aktiva dan passiva dalam neraca untuk setiap valuta asing, ditambah dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing.

PDN dapat dikategorikan sebagai instrumen makroprudensial karena memiliki tujuan untuk meredam risiko sistemik yang terkait dengan currency mismatch di bank akibat tingginya volatilitas nilai tukar dan pergerakan inflow outflow dana asing di Indonesia. Di samping itu, PDN merupakan instrumen makroprudensial yang bersifat liquidity-related dan diterapkan sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian di bidang perbankan.

Transparansi Suku Bunga Dasar Kredit

Suku bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rate adalah suku bunga dasar paling rendah di mana bank belum menghitung premi risiko dari kredit tersebut. Untuk menentukan SBDK, bank harus menentukan tiga komponen biaya yang dikeluarkannya yang meliputi harga pokok dana, overhead, dan juga profit margin. SBDK ini kemudian dilaporkan ke Bank Indonesia sebagai bentuk transparansi informasi. 

Pada tahun 2011, Bank Indonesia mengeluarkan surat edaran mengenai transparansi SBDK. Berdasarkan surat tersebut, bank diwajibkan untuk melaporkan kepada Bank Indonesia dan melakukan publikasi secara rutin atas komponen SBDK untuk masing-masing kredit korporasi, ritel, konsumsi (KPR dan non KPR), dan kredit mikro. Adapun komponen SBDK yang wajib dilaporkan adalah harga pokok dana kredit (HPDK), biaya overhead, dan marjin keuntungan. Sedangkan risk premium tidak wajib dilaporkan.

Kebijakan transparansi SBDK merupakan instrumen makroprudensial yang bertujuan memitigasi risiko kredit melalui persaingan yang sehat pada industri perbankan. Secara spesifik, kebijakan tersebut bertujuan untuk:

  • meningkatkan good governance dan kompetisi melalui market discipline yang lebih baik;

  • mendorong bank untuk menciptakan formulasi suku bunga kredit yang efisien dan akurat;

  • meningkatkan transparansi produk dan jasa perbankan khususnya terkait dengan perhitungan keuntungan, risiko, dan biaya; serta

  • meningkatkan perlindungan nasabah melalui mitigasi asymmetric information antara nasabah dengan bank.

Countercyclical Capital Buffer

Pada akhir tahun 2015, Bank Indonesia meluncurkan instrumen Countercyclical Capital Buffer atau CCB. CCB dirancang untuk mewajibkan bank mencadangkan lebih banyak modal ketika kondisi ekonomi sedang meningkat (boom), yang biasanya disertai dengan pertumbuhan kredit yang berlebihan. Harapannya, cadangan modal ini dapat digunakan oleh bank untuk meredam kerugian yang mungkin ditimbulkan di kemudian hari saat perekonomian sedang melambat (bust)

CCB merupakan instrumen makroprudensial yang bersifat time-varying dan bertujuan untuk meningkatkan ketahanan perbankan terhadap negative shock dan mengurangi procyclicality kredit perbankan. Procyclicality menunjukkan perilaku bank yang cenderung membanjiri pasar dengan kredit saat kondisi boom dan menahan kredit saat kondisi bust.

Penyusunan instrumen ini dilatarbelakangi oleh krisis 2008. Perilaku berutang berlebihan (over leverage) yang tidak diimbangi dengan permodalan dan likuiditas yang kuat menyebabkan bank tidak mampu menyerap kerugian dan gangguang (shock) yang timbul. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa bank cenderung tidak proporsional dalam menilai risiko dan tidak memperhitungkan kondisi makrofinansial dalam kegiatan bisnisnya.

Oleh karena itu, CCB dirancang sebagai instrumen untuk meredam risiko-risiko tersebut. CCB akan diaktifkan ketika pihak otoritas nasional menangkap sinyal risiko dari pertumbuhan kredit perbankan. Sebaliknya, CCB akan dinonaktifkan ketika pihak otoritas melihat perlambatan penyaluran kredit, atau indikasi bahwa bank memerlukan ruang gerak untuk menyerap risiko menggunakan bantalan permodalannya.

Capital Surcharge

Capital surcharge merupakan tambahan modal yang wajib disetorkan oleh systematically important bank (SIB). SIB sendiri adalah suatu bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau secara keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank mengalami gangguan atau gagal.

Capital surcharge untuk SIB adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan SIB melalui peningkatan kemampuan bank dalam menyerap kerugian. Capital surcharge diimplementasikan dalam persentanse tertentu dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) dalam bentuk common equity tier (CET 1) sebagaimana didefinisikan dalam kerangka Basel III. 

 

Referensi Utama:

Simorangkir, Iskandar. (2014). Pengantar Kebanksentralan (Teori dan Praktik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Bank Indonesia. (2016). Mengupas Kebijakan Makroprudensial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *