Behavioral Economics: Ekonomi + Psikologi

Apakah kamu pernah mendengar mengenai ekonomi perilaku (behavioral economics)? Berbeda dengan ekonomi konvensional, pembahasan behavioral economics tidak hanya mengacu pada sisi ekonomi saja, melainkan juga studi mengenai psikologi yang berhubungan dengan bagaimana proses individu maupun sebuah institusi dalam mengambil sebuah keputusan.

Secara sederhana, behavioral economics memadukan ilmu ekonomi dan ilmu psikologi. Ilmu ini dianggap sebagai teori ekonomi yang relatif modern. Behavioral economics banyak dipelajari untuk memahami mengapa individu/institusi melakukan tindakan tertentu. 

Buku teks ekonomi secara umum menganggap bahwa setiap pelaku ekonomi diasumsikan bersikap rasional. Sebagai contoh, di satu sisi, konsumen selalu berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya dalam mengonsumsi barang dan jasa. Sementara di sisi lain, penjual diasumsikan selalu memaksimalkan keuntungan.

Namun secara khusus, banyak ekonom mempertanyakan mengenai keabsahan asumsi tersebut. Apakah benar setiap individu selalu bersikap rasional dalam membuat keputusan? Apakah asumsi rasionalitas berlaku untuk setiap situasi? Bagaimanapun pada kenyataannya, seorang individu tidaklah selalu bersikap rasional sebagaimana dijelaskan dalam buku teks ekonomi konvensional.  

Pembahasan mengenai behavioral economics sangatlah penting untuk dipelajari, salah satunya untuk pengambilan keputusan. Bagi Pemerintah misalnya, dengan mengetahui alasan individu melakukan tindakan tertentu, maka ia dapat menemukan cara-cara yang lebih efektif dalam menyusun kebijakan ekonomi.

Mengenal Lebih Dalam Behavioral Economics

Behavioral economics mulai berkembang pada abad ke-20 setelah munculnya kritik terhadap teori ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa setiap individu senantiasa bertindak secara rasional. Namun pada kenyataannya, para pelaku ekonomi justru kerap bertindak irasional sehingga muncul anomali di dalam perekonomian.

Behavioral economics memberikan pendekatan yang berbeda dengan mengkolaborasikan teori ekonomi dengan psikologi dalam mendeteksi perilaku individu. Teori ini berupaya untuk mengidentifikasi dan mempelajari fenomena psikologis manusia di perekonomian. Para penentang teori ekonomi konvensional menyatakan bahwa banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa manusia tidak selalu bersikap rasional dalam berbagai situasi.

Prof. Dan Ariely (pakar behavioral economics) dalam bukunya yang berjudul Predictably Irrational, menyatakan bahwa setiap manusia pada dasarnya suka berpikir secara tidak rasional dan juga rasional. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa manusia selalu bersifat rasional dan objektif hanyalah sebuah fantasi. Kita seringkali mengalami bias atau thinking error yang mungkin tidak kita sadari, sehingga membuat keputusan, yang dalam banyak hal, menjadi kacau.

Beberapa kontributor terkemuka dalam bidang behavioral economics antara lain Gary S. Becker, Herbert Simon, Daniel Kahneman, George Akerlof, Robert J. Shiller, Amos Tversky, Ernst Fehr, dan Richard Thaler. Nama yang disebutkan terakhir, yang juga dosen di Fakultas Ekonomi University of Chicago, adalah sosok yang dianggap sebagai the Father of Behavioral Economics.

Gambar 1. Richard Thaler

 

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa behavioral economics dibangun melalui kombinasi antara ilmu ekonomi dan psikologi. Itulah mengapa ahli-ahli behavioral economics adalah para ahli psikologi seperti Daniel Kahneman (peraih Nobel Ekonomi tahun 2002), dan Richard Thaler sendiri. 

Pada awalnya teori behavioral economics dipandang sebelah mata. Bahkan Richard Thaler saja di awal karirnya sempat mengalami kesulitan menerbitkan artikelnya di jurnal-jurnal ekonomi besar. Namun kini behavioral economics telah menjadi bagian dari teori arus utama (mainstream theory). Hal ini terlihat dari banyaknya pendidikan dan penelitian mengenai behavioral economics di berbagai fakultas ekonomi di seluruh dunia. Selain itu, behavioral economics juga memiliki pengaruh besar terhadap perumusan kebijakan ekonomi karena dapat menghasilkan kebijakan yang lebih efektif dan lebih “manusiawi”.

Lain halnya dengan teori ekonomi konvensional, behavioral economics jarang mengandalkan model matematika untuk memprediksi perilaku manusia. Karena manusia selalu berkembang dan berubah ketika menghadapi situasi yang berbeda, maka sulit memprediksi keputusan yang akan diambil. Para ahli behavioral economics lebih sering mempelajari perilaku individu di masa lalu, dan kemudian melakukan beberapa eksperimen untuk memeriksa bagaimana individu berperilaku dalam situasi yang mereka kembangkan.

Bias atau Thinking Error

Premis dasar ilmu behavioral economics adalah bahwa manusia itu tidak selalu bersikap rasional, dan suka memasukkan elemen emosi dalam pembuatan keputusan. Melalui riset yang dilakukan para ahli behavioral economics, ditemukan “bias” atau “systematic thinking error” yang muncul dalam tindakan manusia. Nah, beragam bias inilah yang kemudian membuat pengambilan keputusan menjadi tidak objektif dan rasional.   

Ada beberapa jenis error thinking yang ditemukan dalam riset-riset behavioral economics. Berikut adalah beberapa di antaranya.

# Loss Aversion

Studi dalam behavioral economics menemukan bahwa manusia memiliki kecenderungan menghindari risiko. Fenomena itu disebut dengan loss aversion atau terlalu khawatir dengan potensi kerugian. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak manusia cenderung takut untuk mengambil risiko daripada bersemangat menjemput peluang keuntungan.  

Sebagai contoh, anggaplah kita diberi dua kado dengan bungkus tertutup. Bungkus satu berisi uang Rp 1 juta rupiah, sedangkan bungkus lainnya kosong. Kita diminta untuk memilih salah satu kado, atau kita bisa langsung menerima uang sebesar Rp500.000,00 tanpa harus memilih kado? Pilihan mana yang akan kamu ambil? Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar dari kita lebih memilih langsung menerima uang Rp500.000,00 daripada harus memilih kado yang hasilnya tidak pasti.

Loss aversion pertama kali dirumuskan oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman. Konsep ini menyatakan bahwa orang lebih cenderung untuk menghindari sesuatu yang tidak pasti. Hal inilah yang mungkin bisa menjelaskan mengapa mayoritas orang agak ragu untuk memulai usaha secara mandiri. Sebelum memulai usaha, kebanyakan orang sudah takut duluan (takut rugi), dan merasa pesimis dengan peluang keberhasilan yang mungkin bisa mereka dapatkan.   

# Endowment Effect

Endowment effect adalah bias psikologi di mana seseorang akan merasa suatu barang bernilai tinggi ketika barang itu adalah miliknya. Saat kita bisa membeli atau memiliki sesuatu, mendadak muncul rasa cinta pada barang itu, dan akibatnya kita memberikan penilaian yang lebih tinggi dibanding harga pasaran atau nilai sebenarnya. 

Endowment effect terjadi karena 2 hal psikologis. Pertama, rasa takut kehilangan (loss aversion). Kita cenderung akan merasa sakit bila kehilangan, dan rasa sakit itu bisa 2x lipat lebih besar dibanding kesenangan ketika mendapatkan sesuatu hal. 

Gambar 2. Loss Aversion

 

Kedua, rasa kepemilikan. Kita merasa jatuh cinta dengan apa yang sudah kita miliki, dan bersedia untuk membayar lebih untuk mempertahankan sesuatu yang sudah kita miliki daripada kita harus membayar untuk barang yang tidak kita miliki. Dengan kata lain, kita tidak mau menjual sesuatu yang sudah kita miliki dengan imbalan sesuatu yang bernilai sama.

Sebagai contoh, kamu memiliki motor antik. Setelah beberapa lama, kamu merasa ingin menjualnya. Kamu kemungkinan besar akan memberikan harga penawaran (penilaian) yang jauh lebih tinggi dibanding harga pasaran. Ada kecenderungan kamu menghargai hal-hal yang sudah kamu miliki lebih dari penilaian orang terhadap barang tersebut. Selain itu, rasa takut kehilangan (loss aversion) juga menjadi penyebab mengapa kamu memberikan harga penawaran yang tinggi.

# Confirmation Bias

Bias konfirmasi (confirmation bias) adalah suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya. Ini adalah jenis bias di mana seseorang hanya membaca informasi yang mendukung kebenaran yang sesuai dengan pilihannya.

Gambar 3. Confirmation Bias

 

Sebagai contoh, kamu sepakat dengan kebijakan ekonomi yang dibuat Pemerintah. Oleh karena itu, saat kamu browsing mencari informasi di internet, kamu akan menyeleksi informasi yang ingin kamu baca. Kamu cenderung lebih fokus untuk mencari informasi yang membenarkan/mendukung pilihanmu, dan mengabaikan informasi yang mengkritisi kebijakan ekonomi tersebut.

Mengapa manusia memiliki konfirmasi bias? Thomas Gilovich dalam bukunya How We Know What Isn’t So: The Fallability of Human Reason in Every Day Life (1993), menyatakan “most likely reason for the excessive influence of confirmatory information is that it is easier to deal with cognitively”. Dengan kata lain, kita cenderung lebih mudah mengingat informasi baru yang mendukung apa yang kita percayai, dan secara tanpa sadar, dengan cepat melupakan informasi ataupun fakta baru yang menyanggah kepercayaan itu tadi. 

Bias confirmation memiliki penerapan yang luas yang melingkupi banyak sekali konteks, seperti pencarian informasi yang bias, interpretasi informasi yang bias, dan ingatan yang bias. Hal ini akan memiliki beberapa efek seperti: 1) polarisasi sikap, 2) sikap keras kepala walau sudah dihadapkan dengan berbagai bukti yang bertentangan, 3) efek primer rasional (ketergantungan pada informasi yang didapatkan lebih awal), dan 4) ilusi korelasi (ketika orang salah menginterpretasikan hubungan antara dua peristiwa atau situasi).

Saat terjebak bias confirmation, maka kita akan sulit menentukan pilihan yang rasional dan objektif. Oleh karenanya mulailah mencari bukti, fakta, data, dan informasi yang mungkin sebenarnya dapat menyangkal ide kita, daripada selalu mengkonfirmasi apa yang kita percayai. 

# Herd Behavior

Studi-studi dalam behavioral economics menemukan fakta bahwa adanya perilaku herding (herd behavior) atau ikut-ikutan yang dapat ditemui di berbagai aspek kehidupan. Misalnya keputusan untuk membeli makanan di restoran seringkali dipengaruhi oleh banyaknya pengunjung, atau keputusan untuk memilih sekolah didasarkan pada seberapa populer sekolah tersebut.  

Gambar 4. Herd Behavior

 

Herd behavior juga banyak terjadi dalam aktivitas investasi di pasar modal. Banyak investor yang hanya mengikuti apa yang dilakukan investor lain, daripada analisis mereka sendiri. Mereka terkadang merasa lebih aman dengan mengikuti keputusan mayoritas, dan tak jarang perilaku tersebut menyebabkan investor terjebak dalam keputusan investasi yang salah.

# Survivorship Bias

Mungkin kamu pernah mendengar pernyataan: “Kalau saya bisa, Anda pun pasti bisa!”. Saat melihat nama pengusaha-pengusaha besar yang sukses, banyak orang beranggapan bahwa hidup enak dan kaya raya itu berarti harus jadi pengusaha. Pengusaha seakan bisa kerja semaunya dengan penghasilan yang bisa 10 kali lebih besar dari pekerja kantoran.

Apalagi banyak pengusaha besar sekelas Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg adalah mahasiswa drop out atau DO. Meski DO, tapi mereka sukses. Kemudian ada yang bilang, nggak usah takut DO, sebab kamu juga bisa sukses seperti mereka. Pola pikir semacam itu bisa jadi menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki tendensi survivorship bias. Cara pandang ini dapat membuat mereka tidak mampu melihat realitas secara keseluruhan.

Survivorship bias adalah pemikiran yang cenderung hanya fokus pada keberhasilan dan mengesampingkan kegagalan, serta melupakan mereka yang tidak berhasil dalam mencapai sesuatu. Bias ini dapat menimbulkan keyakinan yang terlalu optimistik karena mengabaikan kegagalan, seperti saat perusahaan yang sudah bangkrut tidak diikutkan dalam analisis performa finansial.

Kembali ke contoh pengusaha besar tadi yang bisa sukses meski DO. Hal tersebut membuat banyak orang berpikir bahwa orang yang tidak lulus kuliah pun bisa menjadi pengusaha sukses, selama gigih berusaha. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya selain kegigihan, tentu saja ada faktor lain yang menunjang keberhasilan mereka, misalnya pengetahuan teknis di bidang teknologi dan memiliki pemikiran yang visioner. Jangan sampai kamu memilih DO tapi justru malah menjadi pengangguran atau mendapatkan pekerjaan yang tidak layak karena pola pikir yang salah.    

Agar tidak terjebak dalam cara berpikir survivorship bias, penting bagi kita untuk berpikir realistis dan proporsional. Jangan mengambil kesimpulan dari hanya satu sisi saja. Selain melihat sisi positif, lihat juga sisi negatifnya, agar kita bisa mengambil kesimpulan yang tepat.

Gambar 5. Survivorship Bias

   

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa behavioral economics adalah sebuah ilmu yang begitu kompleks dan luas, sehingga menarik untuk dipelajari. Meski demikian, bukan berarti kita harus meninggalkan teori ekonomi konvensional hanya untuk sebuah behavioral economics. Keduanya mempunyai argumen dan bukti empiris yang kuat. Dan pada kenyataannya, tidak ada individu yang selalu mengambil keputusan secara rasional penuh, atau sebaliknya mengambil keputusan secara irasional penuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *