Ekonomi sebagai sebuah ilmu tidak hanya berisikan pengetahuan, melainkan rangkuman sekumpulan pengetahuan rasional yang disusun secara sistematis dan obyektif. Di dalamnya terdapat serangkaian teori yang telah disepakati dan teruji secara empirik.
Jika dipandang dari sudut filsafat, ilmu ekonomi telah memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Ia memiliki dimensi/aspek ontologis, epistemologi, dan aksiologi.
Aspek Ontologis, yaitu berkenaan dengan objek studi atau berkenaan dengan apa yang dipelajari ilmu ekonomi. Di sini ilmu ekonomi berusaha untuk mengetahui dan mempelajari fenomena dan masalah ekonomi. Contoh aspek ontologis dalam ilmu ekonomi ialah perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya dengan sumber daya yang terbatas.
Aspek Epistemologi, berkenaan dengan bagaimana ilmu ekonomi mempelajari objek studinya dengan metode tertentu, yaitu metode keilmuan atau metode ilmiah. Menurut John Dewey, metode ilmiah merupakan gabungan antara cara berpikir deduktif (dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus) dan cara berpikir induktif (dari hal-hal yang khusus, dianalisis menjadi hal-hal yang umum).
Gabungan antara cara berpikir deduktif dan induktif disebut juga dengan proses “Logico-Hypotetico-Verifikatif”. Prosedurnya terdiri dari beberapa langkah utama, yaitu: (1) merumuskan masalah, (2) menyusun kerangka berpikir, (3) merumuskan hipotesis, (4) mengumpulkan dan menganalisis data, (5) menguji hipotesis, dan (6) menarik kesimpulan.
Aspek Aksiologi, berkenaan dengan dengan aspek guna laksana atau manfaat. Nilai guna ilmu ekonomi bisa dilihat secara positif dan normatif. Pernyataan ekonomi positif (economics positive statements) merupakan sebuah penjelasan (descriptive). Pernyataan tersebut menyatakan tentang bagaimana dunia sebenarnya. Sementara pernyataan ekonomi normatif (economics normative statements) adalah petunjuk (prescriptive) yang menyatakan tentang bagaimana dunia ini bekerja. Untuk memahami perbedaan keduanya, berikut akan dijelaskan mengenai ekonomi positif dan ekonomi normatif.
Ekonomi Positif
Ekonomi positif merupakan pendekatan dalam ilmu ekonomi yang didasarkan pada pernyataan atau analisis positif. Ekonomi positif berusaha menjelaskan tentang fakta-fakta dari kegiatan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Fakta-fakta ini berhubungan dengan hal yang sudah terjadi atau perkiraan mengenai hal yang akan terjadi.
Contoh pernyataan positif:
- Undang-undang upah minimum menyebabkan pengangguran.
- Produsen yang bisa mengelola sumber daya secara efisien dapat memperoleh laba yang lebih besar.
- Pencetakan uang yang terlalu banyak bisa menyebabkan inflasi.
- Pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2018 adalah sebesar US$3.893.
- Penerapan teknologi di bidang industri dapat menaikkan hasil produksi.
Jika kita perhatikan, pernyataan-pernyataan di atas berusaha menggambarkan dan menjelaskan tentang hal-hal yang sesuai dengan fakta. Pernyataan ekonomi positif lebih mengarah pada analisis dan bukti empiris, serta hubungan sebab-akibat.
Kebenaran dalam pernyataan positif dapat dibuktikan melalui fakta dan data yang ada. Seorang ekonom dapat membuktikan atau menyangkal pernyataan ekonomi positif dengan memeriksa fakta, misalnya apakah ada bukti bahwa jika Pemerintah mencetak uang terlalu banyak dapat berakibat inflasi. Kita dapat mengevaluasi pernyataan tersebut dengan menganalisis data pada perubahan kuantitas uang beredar dan perubahan tingkat inflasi sepanjang waktu.
Ekonomi positif mempelajari berbagai perilaku individu dan fenomena masyarakat tanpa menggunakan sudut pandang subjektif. Ia tidak mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Itulah mengapa ekonomi positif sering dianggap sebagai ekonomi bebas nilai (value free).
Selain sebagai alat untuk mendeskripsikan dan menjelaskan, ekonomi positif pun dapat berfungsi sebagai alat untuk memprediksi gejala/fenomena ekonomi. Ekonomi positif berusaha untuk menentukan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi suatu kejadian di bidang ekonomi. Seorang ekonom dari Universitas Chicago, Milton Friedman, pernah menyatakan bahwa satu-satunya alat ukur yang terbaik untuk menguji sebuah teori atau ide (ekonomi positif) adalah melalui kemampuannya dalam melakukan prediksi.
Ekonomi Normatif
Jika ekonomi positif menggambarkan dan menjelaskan bagaimana dunia ini sebenarnya, maka ekonomi normatif mengklaim tentang bagaimana dunia seharusnya. Ekonomi normatif biasanya menyajikan analisis berbasis opini dalam hal apa yang diinginkan.
Tidak seperti ekonomi positif yang menekankan analisis data objektif, ekonomi normatif lebih mementingkan pertimbangan etika, moral, dan nilai untuk menentukan “apa yang seharusnya”. Pentingnya pertimbangan normatif ini ditujukan agar ilmu ekonomi dapat membawa keberkahan dan penyelamatan bagi masyarakat.
Ekonomi normatif bertujuan untuk mencari solusi atas masalah ekonomi. Dengan menggunakan studi empiris dan prediksi ekonomi positif, serta menggabungkannya dengan pertimbangan nilai, ekonomi normatif berusaha untuk menentukan kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang dapat memperbaiki perekonomian.
Di dalam pernyataan ekonomi normatif terdapat beberapa ciri-ciri yang mudah dikenali. Pernyataan ekonomi normatif biasanya mengandung kata kunci seperti “harus”, “seharusnya”, atau “sebaiknya”. Berikut adalah beberapa contoh pernyataan ekonomi normatif.
- Pemerintah harus menaikkan upah minimum tiap tahunnya.
- Pemerintah sebaiknya tidak melakukan impor beras di saat panen.
- Cukai rokok sebaikmya dinaikkan untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan masyarakat usia muda.
- Pembangunan ekonomi seharusnya tidak dilakukan secara terpusat di Pulau Jawa.
- Perusahaan properti sebaiknya memotong Down Payment agar lebih banyak masyarakat bisa membeli rumah.
Pernyataan-pernyataan di atas tidak hanya mengandung pandangan positif, melainkan juga pertimbangan nilai (value judgement). Pernyataan ekonomi normatif berusaha untuk memperbaiki cara perekonomian bekerja. Oleh karenanya, ketika kita membuat pernyataan normatif, saat itu kita telah “beralih” dari ilmuwan ke penasihat kebijakan.
Lalu bagaimana mengevaluasi sebuah pernyataan ekonomi normatif? Tentu saja cara mengevaluasinya tidak hanya melibatkan fakta-fakta, namun juga nilai-nilai. Memutuskan apakah suatu kebijakan itu baik atau buruk bukanlah masalah ilmiah belaka. Penilaian kita atas suatu kebijakan akan sangat ditentukan oleh pandangan kita atas etika, nilai, norma, dan bahkan filosofi politis.