Seperti kita ketahui bahwa setiap Pemerintahan memerlukan pendapatan yang cukup guna mendanai segala aktivitasnya, seperti membiayai pembangunan, menyediakan pelayanan publik, dan menjaga stabilitas ekonomi. Salah satu sumber utama pendapatan negara tersebut umumnya berasal dari pajak.
Setiap negara tentu berusaha memperoleh penerimaan pajak yang sebesar-besarnya. Semakin besar penerimaan pajak, semakin leluasa negara tersebut dalam menjalankan program-programnya. Begitupun sebaliknya, penerimaan pajak yang kecil akan membuat ruang gerak Pemerintah menjadi semakin terbatas.
Kemampuan setiap negara dalam mengumpulkan pajak tidaklah sama. Seberapa efektif suatu negara dalam mengumpulkan pajak dapat diukur melalui indikator yang disebut tax ratio atau rasio pajak. Tax ratio merupakan salah satu indikator penting dalam menilai kinerja perpajakan dan kapasitas fiskal suatu negara. Di Indonesia, pembahasan mengenai tax ratio sering muncul dalam diskusi ekonomi dan kebijakan fiskal, karena nilai tax ratio yang rendah sering dianggap sebagai cerminan dari lemahnya sistem perpajakan.
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai apa itu tax ratio, bagaimana cara menghitungnya, pentingnya tax ratio, faktor yang memengaruhinya, posisi Indonesia dibandingkan dengan negara lain, serta upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkannya.
Apa itu Tax Ratio?
Tax ratio atau rasio pajak adalah perbandingan antara total penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio ini biasanya dinyatakan dalam persentase.
Secara sederhana, tax ratio dapat dihitung dengan rumus:
Nilai tax ratio menunjukkan seberapa baik Pemerintah menjalankan fungsi pengumpulan pajak serta kapasitas negara dalam membiayai layanan publik tanpa harus terlalu mengandalkan utang atau pinjaman eksternal.
Menurut World Bank sebagaimana dikutip dari pajak.go.id, negara berkembang sebaiknya mencapai tingkat tax ratio minimal 15% agar bisa mendanai pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Sementara itu, negara maju seperti anggota OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) rata-rata mencatat tax ratio di kisaran 34,1% (2021).
Lalu mengapa tax ratio menjadi begitu penting?
Ada beberapa alasan mengapa tax ratio begitu penting untuk diperhatikan, antara lain yaitu:
-
Mengukur kinerja penerimaan pajak. Tax ratio menjadi indikator utama untuk menilai seberapa efektif pemerintah dalam mengumpulkan pajak dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara.
-
Mencerminkan kemampuan Pemerintah membiayai negara. Semakin tinggi tax ratio, semakin besar kemampuan Pemerintah untuk membiayai pengeluaran publik seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program pembangunan lainnya tanpa terlalu bergantung pada utang.
-
Indikator kesehatan ekonomi: Tingkat tax ratio yang stabil atau meningkat dapat mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang sehat, meningkatnya produksi, dan daya beli masyarakat yang tinggi. Sebaliknya, penurunan tajam bisa menjadi sinyal adanya masalah struktural dalam ekonomi.
-
Alat analisis kebijakan fiskal. Dengan memantau tax ratio, Pemerintah dapat menganalisis efektivitas kebijakan perpajakan yang diterapkan dan merumuskan kebijakan yang lebih baik di masa depan.
-
Membandingkan kinerja antar negara. Tax ratio juga sering digunakan untuk membandingkan kinerja perpajakan suatu negara dengan negara lain.
Faktor yang Memengaruhi Tax Ratio
Ada berbagai faktor yang dapat memengaruhi tinggi rendahnya tax ratio suatu negara, baik dari sisi makro maupun mikro.
Faktor Makro
-
Tarif pajak. Tingkat tarif pajak yang terlalu tinggi dapat mengurangi insentif untuk membayar pajak secara penuh (meningkatkan penghindaran pajak). Sementara tarif yang terlalu rendah dapat mengurangi penerimaan negara.
-
Tingkat pendapatan perkapita. Negara dengan pendapatan perkapita yang lebih tinggi cenderung memiliki basis pajak yang lebih besar.
-
Struktur ekonomi. Struktur ekonomi suatu negara (misalnya dominasi sektor informal) dapat memengaruhi kemudahan pemerintah dalam mengumpulkan pajak. Umumnya sektor informal lebih sulit dijangkau, sehingga muncul istilah hard-to-tax.
-
Kebijakan ekonomi. Kebijakan Pemerintah terkait investasi, perdagangan, dan sektor-sektor tertentu dapat memengaruhi basis pajak.
-
Optimalisasi tata laksana Pemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan yang bersih dan efisien dapat meningkatkan kepercayaan wajib pajak dan mendorong kepatuhan.
Faktor Mikro
-
Tingkat kepatuhan wajib pajak. Semakin tinggi kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya, semakin tinggi pula penerimaan pajak.
-
Komitmen dan koordinasi antar lembaga negara. Kerja sama yang baik antar instansi pemerintah terkait perpajakan (misalnya Direktorat Jenderal Pajak dengan Bea Cukai) dapat meningkatkan efektivitas pemungutan pajak.
-
Kesamaan persepsi antara wajib pajak dan petugas pajak. Pemahaman yang sama mengenai peraturan dan kewajiban perpajakan dapat mengurangi sengketa dan meningkatkan kepatuhan.
-
Kapasitas administrasi perpajakan. Sistem administrasi yang modern dan efisien (misalnya dengan digitalisasi) dapat membantu Pemerintah dalam mendeteksi kecurangan dan meningkatkan pengawasan.
Di Indonesia, perhitungan tax ratio dapat memiliki dua definisi, yaitu arti sempit (hanya melibatkan penerimaan pajak pusat) dan arti luas (melibatkan penerimaan pajak pusat, pajak daerah, dan kadang-kadang juga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sumber Daya Alam).
Tax Ratio Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio Indonesia cenderung fluktuatif dan masih berada di kisaran 10%. Jika kita runut, berikut adalah data mengenai tax ratio Indonesia yang diperoleh dari berbagai sumber:
-
Tahun 2007–2019: Tax ratio Indonesia relatif stagnan dengan fluktuasi sekitar 10–13% PDB.
-
Tahun 2008: Pencapaian tertinggi di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (±13%).
-
Tahun 2020: Turun drastis ke 10,1%, dipicu pandemi COVID‑19.
-
Tahun 2021–2022: Kembali naik ke 10,9% → 12,1% (OECD).
-
Tahun 2024: 10,07% – 10,08%.
-
Kuartal I 2025: 7,95% (menurun dari 9,77% di Kuartal I 2024).
Perlu dicatat bahwa angka tax ratio bisa sedikit berbeda tergantung pada definisi yang digunakan (arti sempit hanya penerimaan perpajakan, atau arti luas yang juga memasukkan PNBP dari SDA).
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Pasifik dan OECD, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah. Sebagai perbandingan, berikut data tax ratio di beberapa negara:
-
Rata-rata Asia Pasifik (2022): 19,3% (OECD).
-
Rata-rata OECD: 34,0% (OECD).
-
Negara-negara maju (contoh): Inggris (27,3%), Kanada (14,0%).
-
Negara-negara berkembang (contoh): Meksiko (14,3%), Brasil (14,2%).
Kemudian jika dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN (data tahun 2022), tax ratio Indonesia (sekitar 10,41% – 12,1%) dapat dikatakan tertinggal.
-
Thailand: 17,18%
-
Vietnam: 16,21%
-
Filipina: 14,6%
-
Singapura: 12,96%
-
Kamboja: 12,04%
-
Malaysia: 11,4%
-
Laos: 9,46%
-
Myanmar: 5,78%
-
Brunei Darussalam: 1,30%
Upaya Meningkatkan Tax Ratio
Rendahnya tax ratio Indonesia menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam membiayai pembangunan. Pemerintah menargetkan untuk meningkatkan tax ratio secara signifikan di masa mendatang. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, target tax ratio Indonesia adalah 18%–22% pada tahun 2045.
Beberapa tantangan yang dihadapi terkait penerimaan pajak antara lain:
-
Dominasi ekonomi informal. Proporsi UMKM besar, tapi kontribusi pajaknya kecil.
-
Struktur ekonomi stagnan. Minim basis pajak karena banyak kegiatan ekonomi di luar jangkauan fiskal formal.
-
Resistensi politik dan sosial. Perubahan struktural seringkali sulit dilakukan karena potensi beban terhadap masyarakat luas.
-
Ketergantungan terhadap pajak komoditas. Terkait hal tersebut, maka besarnya penerimaan pajak sangat rentan terhadap gejolak harga komoditas internasional.
Untuk itu ada beberapa upaya yang telah dan harus dilakukan guna meningkatkan penerimaan pajak yang meliputi:
-
Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan. Termasuk modernisasi sistem perpajakan seperti Coretax System (meskipun dalam pelaksanaannya masih menghadapi banyak masalah) dan penyederhanaan regulasi.
-
Peningkatan basis pajak melalui penegakan hukum, peningkatan kepatuhan wajib pajak, serta mendorong sektor informal untuk masuk ke sektor formal.
-
Optimalisasi penerimaan pajak dengan cara mengurangi kebocoran dan memperluas populasi wajib pajak.
-
Mengatasi policy gap dan compliance gap: mengurangi insentif pajak yang tidak efektif dan meningkatkan kemampuan Pemerintah dalam mengumpulkan dan mengawasi pajak.
Meskipun Indonesia telah naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah, kenaikan pendapatan perkapita ini belum sepenuhnya diikuti oleh peningkatan tax ratio. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah yang besar bagi Pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan agar bisa membiayai visi pembangunan jangka panjang Indonesia.