Dalam perekonomian suatu negara (termasuk Indonesia), nasionalisasi dan privatisasi merupakan dua kebijakan penting yang sangat menentukan kondisi perekonomian, sosial, dan politik suatu negara. Kedua kebijakan tersebut tentu memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Globalisasi dan persaingan ekonomi yang semakin ketat, mengharuskan Pemerintah mengambil tindakan politik ekonomi yang ditujukan terutama untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Beberapa kebijakan yang diambil di antaranya yaitu berupa pengalihan kegiatan ekonomi dilakukan dengan mengelola kepemilikannya yang semula dikelola swasta menjadi dimiliki negara, dan sebaliknya. Dua hal itulah yang kita kenal sebagai kebijakan nasionalisasi dan privatisasi.
Untuk tahu lebih dalam mengenai kebijakan nasionalisasi dan privatisasi, berikut penjelasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Nasionalisasi
Dikutip dari hukumonline.com, Nasionalisasi merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan proses di mana hak kekayaan, hak-hak dan kepentingan dalam kekayaan dialihkan dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan publik oleh agen dari negara yang bertindak atas kewenangan suatu ukuran legislatif atau eksekutif. Setelah peralihan kekayaan yang ada, menjadi kepemilikan negara atau dieksploitasi oleh lembaga yang dibentuk oleh negara.
Jadi secara singkat, definisi nasionalisasi sebenarnya merupakan pengambilalihan hak dan aset pihak swasta oleh negara bisa dalam kerangka bisnis/investasi dalam negeri atau asing. Industri-industri yang biasanya terkena target nasionalisasi termasuk transportasi, komunikasi, energi, perbankan dan sumber daya alam. Lawan dari nasionalisasi adalah privatisasi.
Campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Sementara itu nasionalisasi sebagai suatu konsep resmi pertama kali muncul dalam konstitusi Meksiko dan dalam konstitusi Uni Soviet setelah revolusi merah pada tahun 1917. Tujuan utama dari nasionalisasi tersebut adalah untuk memanfaatkan atau mendayagunakan seluruh atau sebagian dari alat-alat produksi untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan individu. Dengan demikian, nasionalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu pengalihan (transfer) alat-alat produksi dari hak milik pribadi ke pemilikan bersama (communal property).
Di masa lalu nasionalisasi umumnya dilakukan melalui mekanisme pengambilalihan secara paksa. Hal ini terutama terjadi di negara yang bersifat nasionalis, serta untuk sosialis atau komunis, tergantung pada tujuan ideologis masing-masing. Dengan kata lain, nasionalisasi dianggap sebagai suatu bagian integral dari strategi sosialis. Nasionalisasi dapat juga dinilai sebagai suatu strategi untuk memperbaiki atau mengkonsolidasi ekonomi kapitalis. Untuk tipe yang ini, negara masih menaruh respect dan komitmennya pada sektor swasta.
Motif di balik nasionalisasi umumnya adalah keamanan negara, kebijakan strategis atau rencana makroekonomi nasional, dengan selalu mempertimbangkan kesejahteraan bersama. Alasan ekonomi biasanya dijadikan dalih untuk menasionalisir industri-industri tertentu. Dikutip dari tulisan Mahmud Thoha (Privatisasi dan Efisiensi: Teori dan Kenyataan Empiris), secara konseptual, terdapat tiga alasan dasar dilakukannya nasionalisasi.
Pertama, kegagalan pasar. Kegagalan pasar dapat didefinisikan sebagai suatu ketidakmampuan pasar untuk menyediakan barang-barang atau jasa-jasa tertentu secara keseluruhan pada tingkat yang diinginkan atau pada tingkat yang optimal. Kegagalan pasar banyak terjadi ketika ada monopoli, oligopoli, externalities dan a common-property resources.
Keberadaan monopoli alamiah (natural monopoly) adalah contoh relevan kegagalan pasar. Beberapa contoh dari monopoli alamiah ini adalah apa yang disebut public utilities seperti air minum, gas, listrik, kereta api dan telepon. Apabila monopoli-monopoli alamiah ini jatuh ke pihak swasta, secara teoritis kita dapat menduga bahwa harga akan dinaikkan di atas biaya marjinalnya dan produksi akan dibatasi sampai di bawah titik optimalnya. Untuk menjaga kemungkinan penyalahgunaan tersebut, adalah masuk akal untuk berargumentasi bahwa monopoli-monopoli alamiah sebaiknya dinasionalisasi atau dimiliki oleh negara.
Nah, karena itu pendirian suatu perusahaan negara diharapkan dapat memasok barang-barang dan jasa-jasa tertentu pada tingkat yang diinginkan. Ini berarti bahwa perusahaan negara dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengoreksi kegagalan pasar.
Kedua, perencanaan terpusat. Untuk bisa menyukseskan pembangunan jangka panjang, maka perlu bagi pemerintah untuk mengontrol industri strategis tertentu, misalnya industri energi, baja, transportasi dan komunikasi. Sektor-sektor ekonomi lain sangat bergantung terhadap keberadaan sektor strategis tersebut. Oleh karena itu, apabila Pemerintah mampu menguasai sektor-sektor industri dasar tersebut, maka akan lebih mudah merealisasikan perencanaan ekonomi nasional.
Ketiga, sosialisasi produksi. Menurut pandangan sosialis, pemilikan pribadi atas aset-aset industri atau kapital merupakan sarana dengan mana suatu kelas dalam masyarakat mengeksploitasi kelas ekonomi lainnya. Oleh karena itu penghapusan hak milik pribadi atas kapital dipandang sebagai suatu langkah untuk mengakhiri eksploitasi tersebut, sehingga suatu bentuk masyarakat yang lebih baik dapat dibangun.
Kebijakan nasionalisasi sebenarnya banyak terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Langkah nasionalisasi dianggap sebagai cara bagi negara-negara berkembang untuk dapat memiliki perekonomian yang berdaulat dan tidak bergantung pada negara lain.
Di masa awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama pernah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan tersebut yang berada di wilayah Indonesia diambil alih dan dinyatakan menjadi milik Pemerintah Indonesia.
Untuk melancarkan program nasionalisasi ini, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959 tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (Banas). Dalam program ini, ada banyak perusahaan yang dinasionalisasi, mulai dari bidang perkebunan, farmasi, industri, tambang, hingga asuransi.
Salah satu proses nasionalisasi perusahaan asing yang sangat berarti dan penting adalah nasionalisasi De Javasche Bank (DJB). DJB merupakan bank swasta Hindia Belanda yang didirikan guna membantu permasalahan keuangan dan perekonomian kolonial Hindia Belanda yang memburuk setelah bangkrutnya VOC.
Proses nasionalisasi DJB dilakukan dengan cara Pemerintah membeli saham-saham DJB kepada para pemiliknya di bursa efek Amsterdam pada 15 Desember 1951. Nasionalisasi dilakukan dengan pembelian 99,4% saham DJB senilai 8,9 juta Gulden. Proses ini kemudian berakhir seiring dengan pergantian nama menjadi Bank Indonesia. Pemerintah Indonesia lalu menunjuk Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi di Indonesia, yang kemudian menjadi penanda babak baru di bidang keuangan.
Privatisasi
Setelah tadi kita membahas mengenai nasionalisasi, sekarang saatnya membahas mengenai kebalikan dari nasionalisasi, yaitu privatisasi. Apa itu privatisasi?
Terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar berkenaan dengan istilah privatisasi. Dalam arti sempit, privatisasi yaitu denasionalisasi suatu industri, dengan cara mengubah kepemilikan yang awalnya dimiliki Pemerintah menjadi milik swasta. Sementara itu menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, privatisasi didefinisikan sebagai penjualan saham persero (perusahaan perseroan), baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan bagi masyarakat, serta memperluas saham oleh masyarakat.
Berangkat dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemindahan kepemilikan dari negara (publik) kepada swasta, berarti juga mengakibatkan perpindahan kekuasaan dan kemanfaatan suatu usaha. Pemindahan tersebut mengakibatkan perubahan manajemen perusahaan sektor publik ke mekanisme swasta.
Mengapa privatisasi dilakukan?
Salah satu alasan paling kuat yang memunculkan privatisasi ialah kinerja badan-badan usaha milik negara yang dianggap buruk/mengecewakan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan:
Dalam beberapa kasus, BUMN mempunyai status monopoli yang berakibat munculnya inefisiensi, kurang inovatif, dan membatasi pilihan konsumen.
Sejatinya badan usaha didirikan salah satunya untuk mengejar keuntungan. Namun campur tangan politik telah menghalangi usaha-usaha tersebut.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan serikat pekerja.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan BUMN tersebut, maka para pendukung ide-ide privatisasi berupaya merealisasikan ide tersebut karena menilai privatisasi memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
Privatisasi akan merangsang kompetisi dan memperlemah kekuasaan serikat pekerja.
Privatisasi memungkinkan manajemen mengkonsentrasikan diri pada bisnis daripada harus melayani berbagai kepentingan politik yang saling bertentangan.
Privatisasi menjanjikan efisiensi yang lebih besar, pelayanan yang lebih baik, harga yang lebih rendah, serta pilihan yang lebih banyak.
Dengan menjual BUMN, kas negara akan bertambah dan sekaligus mengurangi beban anggaran belanja negara karena Pemerintah terbebas dari kewajiban untuk mensubsidi BUMN-BUMN yang rugi.
Privatisasi memungkinkan perluasan pemilikan saham oleh masyarakat dan mendorong para pekerja untuk membeli saham dari perusahaan di mana mereka bekerja.
Privatisasi akan membuat perusahaan lebih tanggap terhadap permintaan konsumen.
Privatisasi memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan dana dari pasar modal.
Program privatisasi di Indonesia pertama kali berlangsung di era Orde Baru. Sementara itu privatisasi besar-besaran pernah dilakukan pada kurun waktu 1991 hingga 1997. Saat itu Pemerintah melakukan penjualan saham perdana di pasar modal dalam dan luar negeri. Pada tahun 1991, Pemerintah menjual 35% saham di PT Semen Gresik. Kemudian pada tahun 1994, Pemerintah menjual saham PT Indosat sebanyak 35%.
Privatisasi kemudian dilanjutkan di mana pada tahun 1995, Pemerintah menjual 35% saham PT Tambang Timah dan 23% saham PT Telkom. Kemudian tahun 1996, saham BNI dilepas sebanyak 25%, dan pada tahun 1997 saham PT Aneka Tambang dijual sebanyak 35%. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1994 dan 1995 penjualan BUMN Indonesia bahkan telah masuk pasar modal internasional melalui dual listing yaitu di New York dan London.
Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan terutama untuk menutupi pembayaran utang luar negeri Indonesia yang jumlahnya terus membengkak. Bahkan pasca Orde Baru pun kebijakan ini masih terus dilanjutkan. Apalagi usulan privatisasi telah menjadi bagian dari perjanjian antara Pemerintah rezim Orde Baru dengan IMF lewat Letter of Intent (LOI).
Kebijakan privatisasi menjadi semakin “masif” ketika tahun 2008, di mana sekitar 37 BUMN diprivatisasi. Tujuannya untuk mendorong pemasukan negara dan untuk menutupi jumlah utang yang sangat besar. Lalu pada tahun 2009 sekitar 20 BUMN masuk program privatisasi. Sembilan di antaranya diprivatisasi melalui pola penjualan salah kepada publik (IPO), dan sisanya dilepas melalui penjualan strategis.
Dari sekian banyak BUMN yang telah diprivatisasi, memang tidak seluruhnya dijual 100% melainkan share penguasaan. Namun jika kita berbicara mengenai privatisasi BUMN di Indonesia, hal tersebut merupakan isu yang sensitif. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah nasionalisme. Banyak pihak beranggapan bahwa privatisasi merupakan suatu hal yang dinilai tidak nasionalis, sebab dengan sukarela kita menyerahkan kepemilikan BUMN kepada pihak asing.
Tidak sedikit pihak yang ingin agar BUMN tetap menjadi milik Pemerintah Indonesia, meskipun kondisinya terus merugi dan memberatkan APBN kita. Hal sebaliknya justru dikatakan oleh beberapa pihak yang sepakat dengan ide liberalisme dengan mengusung efisiensi produksi, yang mengatakan bahwa privatisasi justru lebih bersifat nasionalis. Alasannya, dengan privatisasi BUMN kita akan menjadi lebih sehat dan terus melayani rakyat tanpa harus membebani APBN. Yang pasti apapun pilihannya, tentu keputusan privatisasi diharapkan mampu mengubah BUMN menjadi badan usaha yang lebih efisien, sehat, serta bermanfaat bagi masyarakat.