Ini adalah seri terakhir dari serangkaian tulisan mengenai 10 Prinsip Ekonomi menurut N. Gregory Mankiw. Pada bagian 1 kita sudah menyimak mengenai bagaimana individu membuat keputusan. Kemudian pada bagian 2, kita sudah melihat juga bagaimana orang-orang berinteraksi satu sama lain.
Nah, selanjutnya pada bagian 3 ini kita akan mempelajari prinsip ekonomi kedelapan hingga kesepuluh, yang menjelaskan mengenai bagaimana suatu perekonomian secara keseluruhan bekerja.
8. Standar Hidup di Suatu Negara Tergantung pada Kemampuannya Memproduksi Barang dan Jasa
Standar hidup berbagai negara di dunia ini sangatlah beragam. Pada tahun 2019 sebagaimana dikutip dari World Bank, penghasilan tahunan rata-rata orang Amerika Serikat sebesar $63.000. Di tahun yang sama, rata-rata pendapatan orang Indonesia hanya memperoleh $3.900. Sementara di Somalia, rata-rata pendapatannya bahkan hanya $315.
Variasi pendapatan rata-rata tiap negara dapat mencerminkan ukuran kualitas hidup penduduknya. Tidak mengherankan jika negara-negara berpenghasilan tinggi dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik, seperti memiliki lebih banyak gadget dan mobil, menikmati fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, serta menikmati usia harapan hidup yang lebih baik dibanding negara berkembang.
Kira-kira apa yang menyebabkan mencoloknya perbedaan standar hidup antarnegara? Jawabannya adalah kemampuan sebuah negara dalam memproduksi barang dan jasa, atau yang biasa kita kenal dengan produktivitas. Produktivitas (productivity) menunjukkan jumlah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh seorang pekerja dalam satu jam kerja.
Negara di mana para pekerjanya bisa menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak per satuan waktu tertentu, umumnya memiliki standar hidup yang lebih tinggi. Begitupun sebaliknya. Negara dengan produktivitas yang rendah, mayoritas penduduknya akan hidup dengan standar yang relatif rendah pula.
Hubungan antara produktivitas dan standar hidup sangatlah erat. Untuk bisa meningkatkan standar hidup, maka kita harus mencari cara bagaimana dapat menghasilkan barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain meningkatkan kualitas pendidikan, melakukan pelatihan bagi para pekerja, menyediakan sarana dan peralatan kerja yang lebih baik, serta meningkatkan akses terhadap teknologi.
9. Harga-Harga Meningkat Jika Pemerintah Mencetak Uang Terlalu Banyak
Masih ingat dengan inflasi yang terjadi di Zimbabwe pada 2008? Saat itu kenaikan harga mencapai 231.000.000%. Di masa puncaknya, harga-harga bahkan bisa naik hingga dua kali lipat dalam 24 jam. Tingginya tingkat inflasi kemudian membuat mata uang dolar Zimbabwe menjadi tidak berharga. Diperkirakan saat itu nilai tukar 35.000 triliun dolar Zimbabwe hanya setara dengan USD 1. Kejadian tersebut menjadi contoh inflasi paling buruk di awal abad ini.
Inflasi (inflation) adalah kenaikan tingkat harga secara keseluruhan di suatu perekonomian. Meskipun Indonesia belum pernah mengalami inflasi sedahsyat itu, fenomena hiperinflasi sebenarnya pernah juga terjadi di negeri ini. Hiperinflasi di Indonesia terjadi pada periode 1963 – 1965 yang mencapai 600%.
Inflasi memang sudah sering menjadi masalah dan kerap menimbulkan berbagai kesulitan bagi masyarakat. Untuk itu kita harus tetap waspada agar menjaga inflasi tetap rendah dan terkendali. Dan hal ini pun menjadi target utama kebijakan ekonomi Pemerintah di seluruh dunia.
Lalu muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan inflasi? Salah satu penyebab yang menimbulkan inflasi dengan lonjakan yang tinggi adalah pertumbuhan kuantitas uang yang beredar di masyarakat. Perlu kamu ketahui, bahwa jika Pemerintah mencetak uang terlalu banyak, maka nilai uang tersebut akan merosot.
Kembali ke kasus di Zimbabwe. Runtuhnya perekonomian Zimbabwe disebabkan kebijakan mantan Presiden Robert Mugabe soal distribusi lahan di akhir 1990-an hingga awal 2000-an, yang mengakibatkan negara tersebut mengalami kekurangan bahan pokok kronis. Akhirnya Bank Sentral Zimbabwe terpaksa mencetak uang terus-menerus untuk membiayai defisit anggaran Pemerintahnya. Jadi, tingginya lonjakan inflasi umumnya dibarengi tingginya pertumbuhan kuantitas uang.
10. Masyarakat Menghadapi Trade-Off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran
Inflasi dan pengangguran adalah dua masalah utama ekonomi yang dihadapi semua negara. Banyak pengambil kebijakan yang dipusingkan oleh keduanya. Jika inflasi dan pengangguran ini sampai tidak terkendali, maka akan berdampak tidak hanya pada aspek ekonomi melainkan juga pada kondisi sosial dan politik.
Upaya meredam inflasi seringkali berimbas pada meningkatnya jumlah pengangguran. Sebaliknya, saat permintaan tenaga kerja tinggi (pengangguran rendah), cenderung mendorong perekonomian berada pada kondisi overheating yang memicu inflasi.
A. W. Phillip adalah ekonom yang pernah menemukan hubungan terbalik antara inflasi dan pengangguran. Hubungan terbalik atau dilema (trade-off) antara inflasi dan pengangguran ini kemudian digambarkan dalam sebuah kurva yang disebut Kurva Phillip (Phillip Curve).
Kurva Phillip menyatakan bahwa stabilitas harga dan kesempatan kerja yang tinggi tidak mungkin bisa dicapai secara bersamaan. Artinya jika ingin mencapai tingkat kesempatan kerja yang tinggi (pengangguran rendah), sebagai konsekuensinya perekonomian harus bersedia menanggung beban inflasi yang tinggi.
Konsep kurva Phillip memang telah menciptakan perdebatan panjang di kalangan para ekonom. Namun kebanyakan ekonom saat ini meyakini dan menerima gagasan bahwa terdapat trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran. Paling tidak dalam kurun waktu satu atau dua tahun, sebagian besar kebijakan ekonomi mendorong inflasi dan pengangguran ke arah yang berlawanan.
Adanya trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran harus dipahami oleh setiap pengambil kebijakan. Konsep kurva Phillip dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan berbagai kebijakan ekonomi, agar kombinasi tingkat inflasi dan pengangguran yang diharapkan bisa tercapai.